KETIKA krisis finansial global melanda, ditandai dengan kolapsnya pe rusahaan-perusahaan keuangan lalu bursa saham mulai rontok, sejumlah kaum muda, bahkan mahasiswa, pun ikut panik. Sebab, ini terkait langsung dengan nasib mereka.
Kecemasan ini tidak terkecuali muncul dalam diri Asyhadi Fadhli (25). Alumnus Universitas YPKP Sangga Buana ini adalah salah satu investor yang biasa bermain di bursa efek. Penampilannya sangat sederhana, berjaket kulit hitam tebal dan bercelana bahan. Lebih mirip polisi, ketimbang kaum parlente berkocek tebal-stereoti p yang umum muncul pada para pelaku pasar modal.
Di era sekarang, dunia pasar modal tidak lagi didominasi kaum berduit dan punya waktu lebih. Dosen-dosen muda, bahkan mahasiswa, pun sudah berani terjun ke investasi beresiko tinggi ini. Banyaknya layanan perusahaan sekuritas, belum lagi yang melibatkan kerjasama kampus, membuat jenis investasi ini makin terjangkau di masyarakat.
Untuk mendaftar, melakukan transaksi, atau sekadar memantau pergerakan saham secara real time (aktual), investor tidak perlu d atang jauh-jauh ke BEJ, BES atau kantor sekuritas. Cukup dilakukan di pojok-pojok Bursa Efek Jakarta atau Surabaya yang ada di kampus -kampus.
Di Kota Bandung, pojok pasar modal setidaknya ada di dua tempat, yaitu YPKP Sangga Buana dan Universitas Kristen Maranatha.
Di tempat ini, seperti halnya dirasakan Fadhli, tidak perlu modal besar untuk awal investasi. Khusus mahasiswa, alumni, dan dosen, diperbolehkan melakukan deposit awal hanya Rp 5 juta. Bandingkan dengan di perusahaan sekuritas umumnya yang rata-rata itu mematok Rp 25 juta - Rp 50 juta, untuk deposit. Transaksi minimal adalah satu lot (500 lembar saham).
Pembelajaran
"Buat saya, ini lebih untuk pembelajaran. Dulu, diperkenalkan waktu praktikum," ujar Fadhil menjelaskan motivasinya berinvestasi di bursa saham. Dana deposit diperoleh dari hasil menyisihkan uang saku kuliahnya. Eric Yova (26), alumnus Maranatha, berani beralih ke saham, dari sebelumnya investasi reksadana, dengan memanfaatkan kejat uhan harga saham saat ini.
Indeks harga saham gabungan (IHSG) di Indonesia saat ini adalah terendah sejak 10 tahun terakhir. Kini di level 1.228. Atau, turun 50 persen dari kondisi normal. "Sekarang ini kan menjelang window dressing, di mana perusahaan-perusahaan lagi coba memperbaiki laporan keuangannya. Di kondisi ini, saham biasanya cenderung bergerak naik, tutur karyawan perusahaan asuransi ini. Namun, analisa ini bisa saja tidak terbukti. Ya resiko. Mumpung masih muda," tandasnya.
Sari, staf administrasi di Pojok Bursa Universitas Maranatha, ikut bermain saham karena ikut-ikutan. "Karena terbiasa lihat teman-teman bermain. Senang juga melihat kalau ada teman yang untung, karena sahamnya naik," tutur perempuan yang baru 1,5 bulan ini berinvestasi dengan cara menyisihkan gajinya untuk modal.
Alumnus Ekonomi Maranatha ini punya pakem saat berinvestasi, Jangan terlalu maruk!. Maka, seperti kemarin, saat sahamnya bergerak ke angka 1.520 (waktu dibeli 1.380), langsung saja itu dijual.
Perlu analisa
Menurut Wakil Koordinator Pojok Bursa Universitas Maranatha Surya Setyawan, bermain saham tidak sepenuhnya spekulasi. Perlu analisa dan perhitungan tinggi. Baik itu dari kajian fundamental, macam kemampuan perusahaan, kondisi makro-ek onomi hingga isu-isu keamanan nasional. Lalu, kajian teknis, yaitu data-data pendukung macam grafik pergerakan saham atau catatan data tentang saham itu sendiri.
Meskipun hanya berupa pojok BEJ level kampus, nilai transaksi di YPKP Sangga Buana misalnya, tidak bisa dilihat sebelah mata. Per harinya, menurut Manager Divisi Jual Beli Pojok BEJ YPKP Sangga Buana, nilai transaksi mencapai Rp 200 juta. Bahkan, sebelum krisis finansial, perputaran uang di tempat ini rata-rata Rp 400 juta. Pernah capai Rp 1 milia r sehari. Jumlah investor yang terdata adalah 236 orang, dimana 30 persen nya mahasiswa. Segelintir mahasiswa, per harinya, bahkan biasa bertransaksi hingga Rp 100 juta.
source : www.kompas.com